8/26/2015

Tentang Hasad

Hasad adalah merasa tidak suka dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada orang lain. Bukanlah definisi yang tepat untuk hasad adalah mengharapkan hilangnya nikmat Allah dari orang lain, bahkan semata-mata merasa tidak suka dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain itu sudah terhitung hasad baik diiringi harapan agar nikmat tersebut hilang ataupun sekedar merasa tidak suka. Demikianlah hasil pengkajian yang dilakukan oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau menegaskan bahwa definisi hasad adalah merasa tidak suka dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain.

Hasad memiliki banyak bahaya di antaranya:

- Tidak menyukai apa yang Allah takdirkan. Merasa tidak suka dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada orang lain pada hakikatnya adalah tidak suka dengan apa yang telah Allah takdirkan dan menentang takdir Allah.

- Hasad itu akan melahap kebaikan seseorang sebagaimana api melahap kayu bakar yang kering karena biasanya orang yang hasad itu akan melanggar hak-hak orang yang tidak dia sukai dengan menyebutkan kejelekan-kejelekannya, berupaya agar orang lain membencinya, merendahkan martabatnya dll. Ini semua adalah dosa besar yang bisa melahap habis berbagai kebaikan yang ada.
Kesengsaraan yang ada di dalam hati orang yang hasad. Setiap kali dia saksikan tambahan nikmat yang didapatkan oleh orang lain maka dadanya terasa sesak dan bersusah hati. Akan selalu dia awasi orang yang tidak dia sukai dan setiap kali Allah memberi limpahan nikmat kepada orang lain maka dia berduka dan susah hati.

- Memiliki sifat hasad adalah menyerupai karakter orang-orang Yahudi. Karena siapa saja yang memiliki ciri khas orang kafir maka dia menjadi bagian dari mereka dalam ciri khas tersebut. Nabi bersabda, “Barang siapa menyerupai sekelompok orang maka dia bagian dari mereka.” (HR Ahmad dan Abu Daud, shahih)
Seberapa pun besar kadar hasad seseorang, tidak mungkin baginya untuk menghilangkan nikmat yang telah Allah karuniakan. Jika telah disadari bahwa itu adalah suatu yang mustahil mengapa masih ada hasad di dalam hati.

- Hasad bertolak belakang dengan iman yang sempurna. Nabi bersabda, “Kalian tidak akan beriman hingga menginginkan untuk saudaranya hal-hal yang dia inginkan untuk dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim). Tuntutan hadits di atas adalah merasa tidak suka dengan hilangnya nikmat Allah yang ada pada saudara sesama muslim. Jika engkau tidak merasa susah dengan hilangnya nikmat Allah dari seseorang maka engkau belum menginginkan untuk saudaramu sebagaimana yang kau inginkan untuk dirimu sendiri dan ini bertolak belakang dengan iman yang sempurna.

- Hasad adalah penyebab meninggalkan berdoa meminta karunia Allah. Orang yang hasad selalu memikirkan nikmat yang ada pada orang lain sehingga tidak pernah berdoa meminta karunia Allah padahal Allah ta’ala berfirman,

وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. an Nisa’: 32)

- Hasad penyebab sikap meremehkan nikmat yang ada. Maksudnya orang yang hasad berpandangan bahwa dirinya tidak diberi nikmat. Orang yang dia dengki-lah yang mendapatkan nikmat yang lebih besar dari pada nikmat yang Allah berikan kepadanya. Pada saat demikian orang tersebut akan meremehkan nikmat yang ada pada dirinya sehingga dia tidak mau menyukuri nikmat tersebut.

- Hasad adalah akhlak tercela. Orang yang hasad mengawasi nikmat yang Allah berikan kepada orang-orang di sekelilingnya dan berusaha menjauhkan orang lain dari orang yang tidak sukai tersebut dengan cara merendahkan martabatnya, meremehkan kebaikan yang telah dia lakukan dll.

- Ketika hasad timbul umumnya orang yang di dengki itu akan dizalimi sehingga orang yang di dengki itu punya hak di akhirat nanti untuk mengambil kebaikan orang yang dengki kepadanya. Jika kebaikannya sudah habis maka dosa orang yang di dengki akan dikurangi lalu diberikan kepada orang yang dengki. Setelah itu orang yang dengki tersebut akan dicampakkan ke dalam neraka.
Ringkasnya, dengki adalah akhlak yang tercela, meskipun demikian sangat disayangkan hasad ini banyak ditemukan di antara para ulama dan dai serta di antara para pedagang. Orang yang punya profesi yang sama itu umumnya saling dengki. Namun sangat disayangkan di antara para ulama dan para dai itu lebih besar. Padahal sepantasnya dan seharusnya mereka adalah orang-orang yang sangat menjauhi sifat hasad dan manusia yang paling mendekati kesempurnaan dalam masalah akhlak.

***

Oleh: Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin
Penerjemah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

8/20/2015

20 SEBAB KENAPA HARUS MEMAAFKAN (IV)

Lanjutan pembacaan risalah yang ditulis oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh yang topiknya adalah:
20 Sebab Kenapa Kita Harus Memaafkan Orang Yang Menzhalimi Kita”. (bagian sebelumnya)
KESEBELAS
Hendaknya seseorang ingat bahwasanya sabar itu adalah setengah dari keimanan (nishful īmān) dan setengahnya lagi adalah syukur.
Kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ 
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allāh) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.”
(QS Ibrāhīm: 5)
Allāh menggabungkan antara shabbār dan syakūr.
Oleh karenanya, setengah keimanan adalah kesabaran dan setengah keimanan adalah syukur.
Kalau kita tidak memaafkan tetapi malah membalas maka pahala setengah keimanan itu akan hilang.
Sekarang setengah keimanan ada di tangan kita, tinggal dengan hanya memaafkan maka kita akan mendapatkan setengah keimanan lagi.
Tetapi kalau kita lepaskan dengan emosi dan membalas maka hilanglah pahala setengah keimanan tersebut dan inilah kerugian.
KEDUABELAS
Jika seseorang ingat bahwa saat dia bersabar, dia bisa mengatur jiwanya.
Jiwanya ingin membalas dendam namun dia mengatur/menundukkan/mengalahkan jiwanya, ini berarti dia melatih jiwanya.
Maka jiwanya tidak akan mampu untuk menguasai dia dalam hal-hal yang lain karena dia sudah terbiasa mengalahkan jiwanya.
Seseorang terkadang tunduk kepada nafsunya.
Dalam banyak kondisi kita kalah dan bertekuk lutut dengan hawa nafsu kita, kalah dengan syahwat dan jiwa kita.
Diantara latihan kita menjatuhkan jiwa kita adalah dengan memaafkan.
Jika kita mampu untuk memaafkan berarti kita mengalahkan jiwa kita.
Maka pada kondisi-kondisi yang lain jiwa tidak berani dan tidak bisa mengalahkan kita karena kita sudah tundukkan dia dengan memaafkan orang yang menzhalimi kita.
KETIGABELAS
Hendaknya seseorang ingat jika dia bersabar bahwasanya Allāh yang akan menolongnya dan pasti Allāh akan menolongnya.
Dan Allāh adalah yang mengatur urusan orang yang bersabar.
Dan jika dia bersabar berarti dia telah menyerahkan orang yang menzhaliminya kepada Allāh.
Seakan-akan dia mengatakan:
“Saya bersabar, itu urusan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.”
Tapi jika kemudian dia membalas untuk membela jiwanya maka Allāh akan membuat dia bersandar kepada jiwanya sendiri.
Maka mana bandingannya, jika kita menolong jiwa kita sendiri atau Allāh yang menolong jiwa kita?
KEEMPATBELAS
Jika kita bersabar atas orang yang mengganggu kita, ini bisa menjadikan orang (yang mengganggu) tersebut sadar dan mungkin minta maaf kepada kita.
Kalau kita bersabar maka orang-orang akan mencela dia, dia berusaha mencela kita tetapi dia dicela oleh banyak orang.
Kenapa?
Karena Allāh menjadikan orang-orang benci kepada orang yang suka mencela.
KELIMABELAS
Bisa jadi jika kita membalas dendam maka akan menjadikan dia (orang yang mengganggu kita) lebih parah lagi, dan ini sering terjadi.
Seseorang menuduh kita berdusta lalu kita balas dengan mengungkap kejelekannya yang lain maka akan semakin parah, orang tersebut semakin mencari lagi kejelekan/aib-aib kita yang lain.
Oleh karenanya, sekarang kita dihadapkan dengan 2 pilihan:
⑴ Diam saat dizhalimi (dizhalimi tidak mengapa)
⑵ Membalas kezhaliman saat dizhalimi maka (mengakibatkan) kezhaliman yang lebih besar lagi
Maka kita pilih yang mana?
Lebih baik adalah tidak membalas saat dizhalimi. Daripada membalas kezhaliman sehingga lebih dizhalimi menjadi-jadi.
KEENAMBELAS
Barangsiapa yang membiasakan diri untuk membalas dan tidak bersabar maka suatu saat orang tersebut akan terjerumus ke dalam kezhaliman.
Akhirnya orang yang menzhalimi kita menjadi terzhalimi dan sekarang kita yang menzhalimi orang.
Akhirnya pertolongan Allāh bukan kepada kita tetapi kepada orang yang menzhalimi kita.
Karena dalam posisi sekarang ini orang yang menzhalimi kita menjadi orang yang terzhalimi oleh kita.
KETUJUHBELAS
Ketahuilah bahwasanya kezhaliman yang seseorang rasakan adalah sebab untuk menggugurkan dosa-dosanya atau untuk mengangkat derajatnya.
Kalau orang tersebut membalas maka hilanglah itu semuanya (tidak menghapuskan dosa-dosanya dan tidak mengangkat derajatnya).
Orang tersebut hanya mendapatkan kepuasan duniawi yaitu bisa membalas dendam. Adapun derajat pahala di akhirat tidak ada sama sekali.
Maka seseorang hendaknya merenungkan hal ini, daripada dia membalas yang bisa membuat pusing dan capai, maka tidak perlu menghiraukan agar dosanya terampuni dan derajatnya semakin tinggi.
KEDELAPANBELAS
Sesungguhnya kalau seseorang memaafkan dan bersabar maka ini adalah kekuatan yang paling besar untuk mengalahkan musuh dan musuhnya menjadi terhina.
Orang-orang tidak akan membiarkan musuhnya.
Kalau dia diam maka orang-orang akan membelanya. Tetapi kalau dia mulai membalas maka itu hilang seluruhnya.
Oleh karenanya, kalau ada orang yang mengganggu kita (misal kita dikatakan pendusta) tetapi kita sabar, acuh dan senyum-senyum saja (tidak terusik) maka dia akan semakin jengkel dan menderita.
Tetapi kalau kita balas maka dia akan senang/bahagia karena kita merasa terusik/terganggu.
Sikap diam atau memaafkannya kita adalah senjata paling kuat untuk mengalahkan musuh kita.
KESEMBILANBELAS
Barangsiapa yang memaafkan musuhnya maka jiwa musuhnya akan merasa rendah/di bawah dari jiwanya. Dan ini merupakan keutamaan tersendiri.
KEDUAPULUH
Barangsiapa memaafkan dan berlapang dada maka ini adalah kebaikan.
Dan kebaikan ini akan menimbulkan kebaikan yang lainnya.
Dan kebaikan yang lainnya tersebut akan menimbulkan kebaikan yang lainnya lagi dan seterusnya.
Oleh karena itu, bukalah dan awalilah kebaikan yang banyak dengan memaafkan.
Kata Ibnu Taimiyyah, seakan-akan mengingatkan:
“Kalau kita berhasil memaafkan maka akan timbul kebaikan-kebaikan yang lain yang akan datang setelahnya.”
Inilah 20 nashihat yang ditulis oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah untuk mengajarkan kita untuk bisa memaafkan.
Sifat memaafkan adalah sifat yang sangat berat dan tidak ada yang bisa melakukannya kecuali para Anbiyā dan Shiddīqūn (orang-orang yang imannya tinggi).
Dan perangai ini bisa kita terapkan kalau kita dizhalimi.
Semoga kita termasuk dari orang yang Allāh sebutkan dalam Al Qurān:
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
(QS Āli ‘Imrān: 134)
Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn.
Demikian, semoga Allāh mengampuni dosa-dosa kita.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
وبالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
__________________________
Materi Tematik
Ustadz Firanda Andirja, MA

20 SEBAB KENAPA HARUS MEMAAFKAN (III)

Lanjutan pembacaan risalah yang ditulis oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh yang topiknya adalah:
20 Sebab Kenapa Kita Harus Memaafkan Orang Yang Menzhalimi Kita”. (bagian sebelumnya)
KEEMPAT
Hendaknya dia ingat kalau dia memaafkan dan berbuat baik maka hal itu akan menimbulkan di dalam hatinya hati yang bersih, hati yang jauh dari ghill, hati yang jauh dari keinginan buruk, hati yang jauh dari keinginan membalas dendam.
Dan ini adalah suatu kelezatan yang luar biasa kata Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah.
KELIMA
Hendaknya dia mengetahui bahwasanya tidaklah seorang pun yang membalas untuk membela jiwanya (nafsunya) kecuali hal itu akan menimbulkan kehinaan (kerendahan) di dalam hatinya (jiwanya).
Kalau dia memaafkan, maka Allãh akan muliakan dia.
Dan ini adalah yang pernah di kabarkan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dimana Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“…tidaklah seseorang memaafkan kecuali Allãh akan menambah kemuliaannya… ”
(HR. Muslim)
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyebutkan hadits ini berkaitan dengan 3 perkara yang diluar zhahir;
• ⑴
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah tidak mengurangi harta.”
• ⑵
وما زاد اللهُ عبدًا بعفوٍ إلَّا عزًّا
“Seorang hamba tidaklah memaafkan kecuali Allãh akan menambah kemuliaannya.”
• ⑶
وما تواضَع أحدٌ للهِ إلَّا رفعه اللهُ
“Tidaklah seorang tawadhu karena Allãh kecuali Allãh akan mengangkatnya.”
KEENAM
Hendaknya dia ingat bahwasanya balasan sesuai dengan perbuatan, dia ingat bahwasanya jiwanya pun zhālim dia adalah hamba yang penuh dosa.
Dan ingat, barangsiapa yang memaafkan orang lain maka dia akan dimaafkan oleh Allãh Subhanallahu wata’allã.
Oleh karenanya, ini adalah a’zhamul fawāid (faidah yang paling besar), jika anda ingin dimaafkan oleh Allāh maka maafkanlah orang lain.
KETUJUH
Hendaknya seseorang ingat, jika dia sibuk, menyibukkan dirinya untuk balas dendam dan untuk membalas kezhaliman orang lain, maka akan habis waktunya.
KEDELAPAN
Bahwasanya seorang yang tatkala dia membalas dendam sesungguhnya dia sedang menolong nafsunya.
Dia bukan membalas karena Allãh tapi membalas karena jiwanya. Dan kebanyakan orang seperti itu.
Padahal Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam-dan dia adalah seorang Nabi-yang ketika seseorang mengganggunya, (mengganggu Nabi adalah mengganggu Allãh, mengganggu Nabi berarti mengganggu agama Allãh)  nabi tidak pernah membela dirinya.
Kalau yang disakiti dirinya, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak pernah berontak padahal jiwanya adalah jiwa yang paling mulia, jiwa yang penuh dengan akhlaq yang mulia yang jauh dari keburukan.
Itupun tidak pernah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bela jiwanya, yang Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bela adalah kalau ada hak Allāh yang terlanggar baru Nabi marah. Kalau tidak dia yang disakiti, dia tidak pernah membalas.
KESEMBILAN
Jika ternyata anda diganggu (dizhalimi) oleh orang lain karena perjuangan di jalan Allãh:
– karena anda berdakwah, –
– karena menyuruh kepada yang ma’ruf,
– karena mencegah dari yang mungkar,
– karena mengingatkan manusia akan kesyirikan akan kebid’ahan dan macam-macamnya,
lalu anda disakiti, dituduh dengan tuduhan macam-macam, maka janganlah anda balas, karena anda berharap balasan dari Allãh.
Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah menyebutkan ibarat yang sangat indah:
“Barangsiapa yang tidak bersabar dalam berdagang
-dia tidak bersabar dengan panasnya matahari,
-dia tidak bersabar dengan dinginnya hujan
-dia tidak bersabar dengan dinginnya salju
-dengan beratnya bersabar dengan gangguan pencuri
dia tidak bersabar dengan ini semua maka dia tidak perlu berdagang.”
KESEPULUH
Hendaknya diingat bahwasanya Allãh bersama dia ketika dia bersabar. Dan dia ingat bahwa Allãh cinta kepada dia ketika dia bersabar.
Siapakah diantara kita yang tidak ingin dicintai Allãh Subhanallahu wata’allã ?
Diantara cara Allãh mencintai kita adalah ketika kita bersabar
إِنَّ اللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
“Dan Allāh mencintai orang-orang yang sabar”.
(Āli ‘Imrān : 146)
Ibnul Qayyim Rahimahullãh mengatakan:
ليس الشأن أن تُحب ولكن الشأن ان تُحَب 
“Perkaranya bukanlah engkau mencintai Allãh Subhanallahu wa ta’ālla, tetapi perkaranya adalah apakah engkau dicintai Allãh Subhanallahu wa ta’ālla.”
Banyak orang merasa cinta kepada Allãh, tetapi belum tentu Allãh cinta sama dia.
Diantara bukti bahwasannya Allãh cinta kepada kita, adalah bila kita diuji kita bersabar, berarti Allãh cinta kepada kita, buktinya kita bersabar, dan Allãh mengatakan:
وَ اللّٰهِ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
Allãh mencintai orang-orang yang bersabar.
Inilah derajat yang indah, dicintai Allãh Subhanallahu wa ta’allã, caranya diantaranya dengan bersabar tatkala dizhalimi.
Kata Ibnu Taimiyyah Rahimahullāh:
“Kalau Allãh sudah bersama dengan seorang hamba, maka Allãh akan menghilangkan berbagai macam kemudharatan (gangguan) yang tidak mampu untuk dihilangkan oleh seorangpun dari mahluk Allãh Subhanallãhu wa ta’ālla.”
Kenapa?
Karena Allãh bersama kita.
Karena itu Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Barangsiapa bersabar, Allãh bersama dia maka Allãh akan menolong dari segala macam gangguan-gangguan yang lainnya.”
(Bersambung bag. 4)
__________________________
Materi Tematik
Ustadz Firanda Andirja, MA

20 SEBAB KENAPA HARUS MEMAAFKAN (II)

Lanjutan pembacaan risalah yang ditulis oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh yang topiknya adalah:
20 Sebab Kenapa Kita Harus Memaafkan Orang Yang Menzhalimi Kita”. (bagian sebelumnya)
Beliau berkata:
Ada beberapa perkara yang membantu seorang hamba untuk bersabar, artinya memaafkan orang yang menzhalimi dia.
Beliau sebutkan ada 20 perkara:
PERTAMA
Seseorang hendaknya mengetahui bahwasannya Allāh-lah yang telah menciptakan seluruh perbuatan hamba.
Seluruh gerakan-gerakan dan diamnya mereka, semua diciptakan oleh Allāh.
Apa yang Allāh kehendaki terjadi dan apa yang tidak Allāh kehendaki tidak akan terjadi.
Tidak ada satu benda kecilpun (dzarrāh) baik di langit dan di bumi yang bergerak kecuali dengan izin Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Hamba-hamba ini hanyalah alat.
Maka lihatlah kepada Dzat yang telah menjadikan musuh-musuhmu menzhalimimu.
Jangan engkau lihat pada perbuatan mereka (lihat siapa yang membuat mereka, mentakdirkan mereka demikian).
Maka engkau akan beristirahat dari kegelisahan dan gundah gulana.
KEDUA
Hendaknya dia ingat dosa-dosanya dan ia tahu bahwasanya tidaklah Allāh menjadikan mereka bisa menzhalimi dia kecuali karena sebab dosa-dosanya.
Kenapa dia dizhalimi? Karena ada dosa-yang dia lakukan.
Allāh berfirman:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Musibah apa saja yang menimpamu maka akibat perbuatanmu sendiri dan Allāh memaafkan banyak kesalahan-kesalahanmu.”
(QS. Asy-Syūra: 30)
Jika seorang hamba tahu bahwasanya musibah (cercaan, kezhaliman) yang menimpa dia disebabkan dosa-dosanya maka dia akan ingat dosa-dosanya.
Dan dia akan tersibukkan untuk beristighfar, bertaubat kepada Allāh.
Jadi, waktu musibah mengenainya dia salahkan dirinya dulu:
“Jangan-jangan ini karena dosa-dosa saya.”
Lantas dia beristighfar, bertaubat kepada Allāh.
Kalau dia sibuk beristighfar dan bertaubat kepada Allāh maka dia akan terlalaikan dari mencaci maki orang yang menzhaliminya.
Kenapa?
Karena dia sibuk memperbaiki dirinya.
Kalau dia sudah bisa memperbaiki dirinya maka musibah tersebut akan terangkat.
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
“Kalau engkau melihat seorang hamba tatkala dizhalimi oleh orang lain kemudian dia tidak istighfar dan tidak bertaubat bahkan dia mencaci-maki orang yang menzholiminya, ketahuilah, ini musibahnya benar-benar musibah hakiki.
Kalau ternyata dia beristighfar dan bertaubat maka musibah itu bukan hakiki, hakekatnya adalah nikmat.”
Kenapa?
Dia kembali beristighfar dan bertaubat kepada Allāh.
Musibah tersebut yaitu kezhaliman orang lain kepadanya hanyalah wasilah agar dia bisa beribadah kepada Allāh.
Berarti musibahnya bukan hakiki, justru ini nikmat.
Tetapi tatkala dia dizhalimi oleh orang dan dia tidak beristighfar dan tidak bertaubat, malah mencaci maki mereka, sibuk menghabisi mereka, ketahuilah, inilah musibah yang hakiki.
KETIGA
Hendaknya dia ingat, menghadirkan pada dirinya, bahwasanya bagaimana indahnya pahala bagi orang yang bersabar dan memaafkan, sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan atas keburukan adalah keburukan yang semisalnya. Barang siapa yang memaafkan dan berbuat kebaikan maka pahalanya atas Allāh (Allāh yang memberikan pahalanya), sesungguhnya Allāh tidak menyukai orang-orang yang zhalim.”
(QS. Asy-Syūra: 40).
Dalam ayat ini, kata Ibnu Taimiyyah rahimahullah;
Allāh menyebutkan ada tiga golongan manusia tatkala dizhalimi:
⑴ Yang pertama adalah seorang yang muqtashid.
Yaitu dia yang membalas sesuai dengan kezhaliman yang mengenainya]
Allāh mengatakan:
“Dan balasan bagi keburukan adalah keburukan semisalnya.”
Kata Allāh:
وَإِنۡ عَاقَبۡتُمۡ فَعَاقِبُواْ بِمِثۡلِ مَا عُوقِبۡتُم بِهِۦ‌ۖ وَلَٮِٕن صَبَرۡتُمۡ لَهُوَ خَيۡرٌ۬ لِّلصَّـٰبِرِينَ
“Kalau kalian ingin membalas maka balaslah sebagaimana kezhaliman yang kalian rasakan.” (Namun Allāh mengatakan) “Kalau kalian bersabar maka lebih baik.”
(QS. Al-Nahl: 126)
Jadi Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak menyalahkan, saya katakan tidak berdosa.
Kalau ada seorang dikatakan dizhalimi kemudian dia membalas dengan kezhaliman tersebut, dia melampiaskan kemarahannya, selama pembalasannya sama dengan kezhalimannya dia tidak berdosa.
Dan ini Allāh memperhatikan sifat manusia seseorang.
Tidak mengapa kalau dia balas, tetapi harus sesuai dengan kadar kezhalimannya.
⑵ Jenis orang ke-2 yang berdosa, yaitu melanggar melebihi balasan yang seharusnya.
Maka Allāh tutup aib tersebut dengan mengatakan “Allāh tidak menyukai orang-orang yang zhalim”.
Kalau dia membalas lebih berarti dia telah berbuat zhalim.
⑶ Dan yang terbaik adalah golongan ketiga yang memaafkan.
Kata Allāh:
“Barang siapa yang memaafkan dan berbuat kebaikan maka pahalanya disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla.”
Kata Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah:
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas:
“Bahwasanya pada hari kiamat ada suara yang menyeru:
إلاّ ليقم من وجب أجره على الله، فلا يقوم إلا من عفى وأصلح 
“Siapa yang pahalanya wajib Allāh tunaikan hendaknya dia berdiri. Maka tidak ada yang berdiri kecuali orang yang memaafkan dan berbuat baik.”
Jadi orang seperti ini akan dimuliakan olah Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Ada satu hadits yang sangat indah tentang memaafkan dan saya ingatkan kepada para suami:
Kalau anda (kita secara umum) diperintahkan untuk memafkan orang yang menzhalimi kita, orang-orang jauh kita maafkan apalagi jika yang bersalah kepada kita adalah orang yang sangat dekat, contohnya istri kita.
Hendaknya anda memaafkan istri anda.
Istri-istripun demikian, hendaknya memaafkan suaminya.
Para suami ingat hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
من كظم غيظا وهو يقدر على أن ينفذه دعاه الله يوم القيامة على رؤوس الخلائق حتى يخيره مِن العين الحور ماشاء
“Barang siapa yang menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melampiaskan amarahnya, maka Allāh akan panggil dia pada hari kiamat di hadapan khalayak (Allāh pamerkan/banggakan dia di hadapan manusia seluruhnya) kemudian sampai Allāh menyuruh dia untuk memilih bidadari yang dia kehendaki.”
(HR. Abu Dāwud, Turmudzi, dan dihasankan Al-Albani)
(bersambung ke bag. 3)
__________________________
Materi Tematik
Ustadz Firanda Andirja, MA

20 SEBAB KENAPA HARUS MEMAAFKAN (I)

بِسْمِ ٱللّٰهِ ٱلرَّحْمٰنِ ٱلرَّحِيمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ لاَ نَبِيَّا بَعْدَهُ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا و أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
فَإِنَّ أَحْسَنَ الكَلاَمِ كَلاَمُ اللّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Alhamdulillāh, kita akan membacakan risalah yang ditulis oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh yang topiknya adalah
20 SEBAB KENAPA KITA HARUS MEMAAFKAN ORANG YANG MENZHALIMI KITA”.
Pembahasan kita kali ini tentang sifat memaafkan.
Dia adalah sifat yang agung, yang Allāh Subhānahu wa Ta’āla sebutkan bahwasanya perangai tersebut adalah salah satu dari ciri-ciri penghuni surga.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla abadikan dalam Al-Qurān dengan firmanNya:
.. وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ 
“Dan orang-orang yang memaafkan (orang-orang yang bersalah kepada mereka).”
(Āli ‘Imrān 134)
Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla sebelumnya menyebutkan dalam ayat tersebut:
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Bersegeralah kalian menuju kepada ampunan Allāh dan bersegeralah kalian menuju kepada surga Allāh yang luasnya seluas langit dan bumi yang Allāh siapkan bagi orang-orang yang bertaqwa.”
(Āli ‘Imrān 133)
Kemudian Allāh menyebutkan ciri-ciri orang yang bertaqwa tersebut, diantaranya kata Allāh yaitu:
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ 
“Yaitu orang-orang yang memaafkan (orang lain).”
Oleh karenanya kita jangan menyepelekan sifat memaafkan ini.
Sebagian ulama mengatakan bahwasanya:
“Perkara yang paling memudahkan seseorang masuk ke dalam surga setelah Tauhīd adalah akhlaq yang mulia.”
Terlalu banyak dalil-dalil yang menunjukkan bagaimana mulianya perangai yang mulia di sisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Cukuplah sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
أقربكم مني مجلساً يوم القيامة أحاسنكم أخلاقاً. 
“Orang yang paling dekat denganku pada hari kiamat kelak yaitu orang yang paling mulia akhlaqnya.”
(HR. Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadis ini hasan.” dari shahābat Jābir radhiyallāhu ‘anhu)
Sebaliknya, perkara yang paling memudahkan seseorang masuk neraka setelah kesyirikan adalah akhlaq yang buruk.
Dan kita membahas tentang satu akhlaq yang mulia, yang kata Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh:
“Tidak ada yang bisa mampu melakukannya kecuali para Nabi dan orang-orang shiddiqūn yang imannya tinggi, yang yakin akan hari akhirat.”
Oleh karenanya setelah Allāh menyebutkan:
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ 
Kata Allāh :
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ 
“Dan Allāh mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.”
(Āli ‘Imrān 134)
Jadi, orang yang bisa memaafkan orang lain, dia adalah orang yang telah mencapai derajat ihsan, dalam makna:
√ Dia ihsan dalam beribadah
√ Dan ihsan terhadap orang lain
Ihsan kepada orang lain yaitu dia memaafkan oranglain, berarti dia berbuat baik kepada oranglain.
Dan ihsan dalam hal dia merasa seakan-akan dia melihat Allāh dan kalau dia tidak mampu untuk melihat Allāh berarti Allāh telah melihat dia.
Kenapa?
Karena tatkala dia memaafkan orang lain butuh keyakinan yang tinggi.
Yakin bahwasanya Allāh melihat dia memaafkan orang lain dan Allāh akan memberikan ganjaran.
Kalau dia tidak punya keimanan yang kuat bahwasanya Allāh akan memberikan ganjaran kepada dia, maka dia sulit untuk memaafkan.
Karena kapan kita baru memaafkan?
Yaitu tatkala kita dizhalimi.
Sifat ini (memaafkan oranglain), tidak bisa kita nampakkan kecuali tatkala kita dizhalimi, baru kita tertantang apakah anda memaafkan atau tidak.
Karena kalau sudah dizhalimi, biasanya orang akan menuntut balas.
Maka, Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyebutkan diantara sifat-sifat para penghuni surga yaitu orang-orang yang memaafkan orang lain.
Allāh menyebutkan dalam ayat yang lain:
وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Dan engkau memaafkan maka itu lebih dekat kepada ketaqwaan.”
(Al-Baqarah 237)
Kata Allāh:
وَ لْيَعْفُوا وَ لْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ وَ اللهُ غَفُورٌ رَحيمٌ
“Maafkanlah dan berlapanglah dada. Apakah kalian tidak ingin Allāh mengampuni dosa-dosa kalian?”
(An-Nūr 22)
Sebelum kita membacakan risalah Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh yang termasuk di dalam Al-Jāmi’u Al-Masāil, saya akan memberikan muqaddimah tentang sifat memaafkan yang dimiliki oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Dan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah orang yang sangat pemaaf.
Tentunya kita masih ingat tentang kisah seorang ‘Arab Badui yang tatkala ingin meminta harta dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam kemudian dia menarik selendang Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan tarikan yang keras sehingga memberikan bekas di leher Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Setelah itu dia berteriak:
“Wahai Muhammad, berikanlah harta Allāh yang ada pada dirimu.”
Ia meminta dengan cara yang kasar, dengan menarik selendang Nabi dan dengan memanggil nama Nabi, ‘Yā Muhammad.’
Tidak ada shahābat yang berani mengatakan Nabi dengan namanya langsung (Yā Muhammad).
Allāh Subhānahu wa Ta’āla saja kalau memanggil, ‘Yā Rasūlullāh,’ atau, ‘Yā Nabiyullāh,’ adapun dia mengatakan, ‘Yā Muhammad.”
Kemudian setelah menarik dengan keras/kasar dan memanggil dengan nama, ‘Yā Muhammad,’ lantas dia mengatakan, ‘Berikan harta Allāh yang ada padamu.’
Subhanallāh, menakjubkan, ini diantara mu’jizat akhlaq Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yaitu Nabi langsung bisa tertawa dan mengatakan:
“Berikanlah harta kepada Badui ini.”
Dan ini adalah suatu yang menakjubkan, bagaimana Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak bermuka masam terlebih dahulu, akan tetapi langsung bisa memaafkan.
Dan bukan hanya sekedar memaafkan tetapi langsung bisa tertawa terhadap orang ‘Arab Badui tadi dan memenuhi permintaannya.
Ini menunjukkan sikap memaafkan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang luar biasa.
(bersambung ke bag. 2)
__________________________
Materi Tematik
Ustadz Firanda Andirja, MA