11/13/2017

Allah Mencintai Kelembutan

Dari 'Aisyah rodhiyallahu 'anha, dia berkata, "Ada sekelompok orang Yahudi yang minta izin menemui Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam, lalu mereka mengucapkan, "Assaamu 'alaikum" (Semoga kematian menimpamu). 'Aisyah berkata, "Bal 'alaikumussaam wal la'nah" (Bahkan kalianlah yang semoga mendapat kematian dan laknat). Maka Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam berkata:

مهلا ياعائشة ، فإن الله يحب الرفق في الأمر كله

"Tenanglah wahai 'Aisyah, sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam semua perkara." Aku berkata, "Wahai Rosulullah, tidakkah engkau mendengar apa yang mereka ucapkan? Berkata Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam:

فقد قلت: وعليكم

"Aku sudah membalasnya dengan ucapan, "Wa 'alaikum" (Juga atas kalian)." (HR. Muslim 2165)

Faidah yang dapat diambil dari hadits ini:

1. Perkataan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam, "Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam semua perkara", menunjukkan keagungan akhlaq beliau shollallahu 'alaihi wasallam dan kesempurnaan perangai beliau yang mampu menahan marah.

2. Anjuran berlaku lembut, sabar, menahan marah dan santun terhadap orang lain selama tidak ada alasan untuk bersikap keras.

3. Celaan 'Aisyah terhadap orang-orang Yahudi menunjukkan bolehnya membela diri dari kejahatan orang yang zalim.

4. Membela orang yang baik dari siapa saja yang menyakitinya.

5. Dianjurkan tidak meladeni kebodohan orang selama tidak menimbulkan bahaya dan kerusakan. Al-Imam Asy-Syafii berkata, "Orang yang cerdas lagi berakal adalah yang tidak menghiraukan perbuatan bodoh orang lain." (Syarh Shohih Muslim 14/209-210)

Betapa indahnya kelembutan. Bila sifat lembut dan menahan amarah ada pada diri seseorang, maka hal itu akan menghiasi dirinya di pandangan manusia dan juga di pandangan Allah.

Fikri Abul Hasan

Channel Telegram
https://t.me/manhajulhaq

Adab Bertanya

Di antara adab-adab bertanya yang harus diperhatikan oleh para tholabatul 'ilmi adalah sebagai berikut:

1. Tujuan bertanya untuk mencari kebenaran dan ingin beramal, bukan untuk mencari-cari keringanan maupun tujuan-tujuan jelek yang lain. (Al-Ushul min 'Ilmil Ushul - Syaikh Al-'Utsaimin) 

Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan para Ulama, atau ingin bersilat lidah dengan orang-orang bodoh, atau ingin menarik perhatian manusia maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka jahannam.” (HR. Ibnu Majah dan dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albani)

Maka sudah semestinya seorang tholibul 'ilmi meluruskan niatnya agar ikhlas karena Allah sehingga ilmu yang dipelajarinya barokah.

2. Tidak bertanya kecuali kepada orang yang berilmu atau menurut dugaannya yang kuat mampu untuk menjawab. Allah berfirman:

"Maka bertanyalah kalian kepada ahlul 'ilmi apabila kalian tidak mengetahui." (Al-Anbiya': 7)

Yakni ahlul ilmi yang dikenal baik manhajnya dan  lurus aqidahnya.

3. Bertanya dengan penuh penghormatan dan meyakini keahlian pihak yang ditanya. Bertanya bukan untuk menguji yang ditanya. Ini adab yang sangat jelek yang harus dijauhi oleh seorang tholibul 'ilmi.

Al-Imam An-Nawawi berkata, “Hendaklah seorang murid memperhatikan gurunya dengan penuh penghormatan. Dia meyakini keahlian gurunya itu dibandingkan yang lain. Adab seperti itu akan membawa dirinya mengambil faidah yang banyak dari sang guru, dan hal itu akan lebih membekas dalam hati dari pesan-pesan yang didengarnya." (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab)

4. Sampaikanlah pertanyaan dengan baik dan benar, sebab hukum terhadap sesuatu adalah cabang dari gambaran permasalahannya. Adakalanya seseorang mendapat jawaban yang sifatnya kondisional, namun diberlakukan secara mutlak di setiap situasi dan kondisi. Inilah sesungguhnya yang menjadi sebab fitnah dan kesimpangsiuran.

5. Hindari penyebutan nama ketika menanggapi jawaban dari sang guru, karena perbuatan semacam itu dapat mengadu domba keduabelah pihak. Seperti ucapan, "Sedangkan Syaikh Fulan berkata begini dan begitu!", "Kalau kata Ustadz Fulan begini dan begitu!"

Para Ulama mengajarkan hendaknya menggunakan ungkapan yang lebih umum seperti, "Wahai Syaikh bagaimana menurut engkau jika ada yang berpendapat begini?"

6. Sabar dan husnudzdzhon (baik sangka) bila pertanyaan melalui pesan singkat belum kunjung dijawab. Boleh jadi yang ditanya sedang ada kesibukan, sakit, melayani tamu, sedang safar, ataupun 'udzur-'udzur yang lain. Yahya bin Abi Katsir berkata kepada anaknya, "Sungguh ilmu itu tidak akan diperoleh dengan badan yang santai."

7. Tidak memaksa seorang guru untuk memberi jawaban secara detail dan dilengkapi dalil. Syaikh Al-Albani berkata, “Terkadang seorang 'alim belum memungkinkan baginya mendatangkan dalil atas sebuah pertanyaan. Khususnya apabila dalilnya itu berkenaan dengan kesimpulan hukum yang tidak dinashkan secara gamblang dalam Al-Qur’an was Sunnah. Dalam hal ini tidak pantas bagi penanya untuk terlalu mendalam bertanya apa dalilnya. Menyebutkan dalil memang wajib jika kondisinya menuntut demikian. Akan tetapi tidak wajib baginya setiap kali ditanya harus menjawab Allah berfirman dan Rosulullah bersabda. Terlebih dalam permasalahan fiqh yang luas dan masih diperselisihkan."

(Majalah Al-Asholah)

11/05/2017

Saya Lebih Baik Daripada Dia?

"Ana Khoirun Minhu" (Saya Lebih Baik Daripada Dia)?

Merasa benar tidak melazimkan seseorang merasa lebih baik, lebih suci, paling bertaqwa, pemegang kunci surga. Merasa benar dan merasa lebih baik adalah dua hal yang berbeda. Walhasil jika Anda dikritik lantaran terbukti menyelisihi kebenaran, maka janganlah Anda picik menyebut orang yang mengkritik dengan tudingan merasa lebih baik, "ana khoirun minhu" (saya lebih baik daripada dia), seperti yang dinyatakan Iblis terhadap Adam.

Camkan nasehat pendahulu umat ini, imamnya ahli hadits, Al-Imam Auza'i (157 H) rohmatullah 'alaih:

عليك بالأثر وإن رفضك الناس وإياك وأراء الرجال وإن زخرفوه بالقول فإن الأمر ينجلي وأنت فيه على طريق مستقيم

“Wajib atas engkau berpegang dengan atsar (cara beragama Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan para Shohabat) sekalipun orang-orang menolakmu. Hati-hatilah engkau dari logika dalam beragama meskipun mereka menghiasinya dengan berbagai omongan. Karena perkara agama ini telah sangat jelas dengan atsar dan jika engkau beragama atas dasar atsar itu, maka engkau telah berjalan di atas jalan yang lurus.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah - Al-Imam Ibnu Muflih 2/70)