9/29/2015

CIRI KHAS HAJI MABRŪR

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول لله و على آله و صحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أما بعد

Kaum muslimīn & muslimāt rahimanī wa rahimakumullāh,

Adalah menjadi impian setiap jama'ah haji untuk menjadi (mendapatkan) haji yang mabrūr karena haji yang mabrūr tidak ada balasannya kecuali surga Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Juga bagi orang yang hajinya mabrūr ketika dia pulang maka pulang dalam keadaan bagaikan bayi yang lahir dari perut ibunya.

Oleh karena itu, adalah harapan setiap orang yang pergi haji yaitu ingin mendapatkan predikat haji yang mabrūr.

Maka menjadi satu hal yang patut untuk kita kaji bersama adalah "Seperti apa ciri orang yang hajinya adalah haji yang mabrūr?"

Berikut ini adalah perkataan seorang ulama besar di masa tābi'īn, Al-Hasan Al-Bashri rahimahullāhu Ta'āla;

قَالَ الْحَسَنُ: الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ هُوَ أَنْ يَرْجِعَ زَاهِدًا فِيْ الدُّنْيَا رَغِبًا فِيْ الْأَخِرَةِ

Beliau mengatakan bahwasanya (yang dimaksud dengan) :

"Haji yang mabrūr adalah pulang dari pergi haji dalam keadaan menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan semangat untuk mencari bekal akhirat."

Bapak dan ibu kaum muslimīn & muslimāh rahimanī wa rahimakumullāh,

Dalam perkataan beliau ini, kita jumpai dua ciri orang yang hajinya adalah haji yang mabrūr.

Ciri tersebut adalah adanya perubahan pada dirinya; berbeda antara sebelum berangkat haji dan setelah pulang haji.

Perbedaannya adalah seperti yang beliau sampaikan:

■ Pertama

Orang yang hajinya adalah haji yang mabrur, yang sebelumnya boleh jadi dulu adalah:

• Pemburu dunia.

• Semuanya ditimbang dengan dunia.

• Semuanya yang ada di pikiran hanyalah uang dan harta.

(Dari bangun tidur sampai tidur lagi, bahkan mimpinya pun memimpikan dunia karena demikian rakusnya dengan dunia.)

• Semuanya dihitung dengan materi (uang).

(Apakah ini menghasilkan uang ataukah tidak, tidak hitung-hitungan apakah ini menghasilkan pahala dan ridhā Allāh Subhānahu wa Ta'āla.)

Akan tetapi setelah pulang haji dia menjadi zuhud terhadap dunia.

Maka dia menjadi orang yang:

√ Menyikapi dunia secara proporsional.

√ Menjadikan dunia ditangannya dan tidak dihatinya.

Dunia bukanlah orientasi pokoknya meskipun dia adalah seorang yang perhatian dengan urusan dunia dan memajukan bisnis dan usaha, namun itu semua dia sadar adalah titipan.

Itu semua dia letakkan ditangannya dan tidak dia letakkan di hatinya.

Itulah orang yang zuhud dengan dunia.

■ Kedua

Orang yang hajinya adalah haji yang mabrūr, maka setelah pulang haji dia menjadi orang yang "rāghiban fil ākhirat" yaitu orang yang semangat untuk berburu bekal yang akan di bawa ke akhirat.

Maka sebagaimana dia bersemangat beribadah saat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, maka semangatnya itu dia upayakan untuk tetap terjaga.

Setelah pulang ke tanah air, maka dia;

√ Lebih semangat untuk mencintai masjid.

√ Semangat untuk pergi kemasjid dalam rangka shalat berjamaah.

√ Lebih semangat untuk melakukan berbagai macam amal shalih dan amalan kebajikan.

Karena dia adalah orang yang rāghiban fil ākhirat;

√ Orang yang menjadi pemburu akhirat.

√ Orang yang sangat bersemangat untuk mendapatkan nikmat akhirat.

Maka orientasinya adalah orientasi akhirat. Dunia yang dia kerjakan, dia pikirkan bagaimanakah perkara dunia ini juga menghasilkan nilai akhirat.

Inilah keadaan orang yang hajinya adalah haji yang mabrūr.

Maka, manakala kita jumpai pada diri kita, setelah kita menyelesaikan kegiatan ibadah haji dan setelah pulang ke tanah air, nampak pada diri kita dua hal ini.

Yaitu:

√ Kita tidak lagi berorientasi dunia, dunia hanya sekedar ditangan tidak dihati.

√ Menjadi orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, dalam melakukan amal-amal yang mendatangkan ridhā Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan pahala.

Maka kita bisa berharap mudah-mudahan pergi kita ke kota suci Mekkah yang mengeluarkan biaya yang tidak sedikit adalah safar yang bermanfaat karena pulang dengan membawa predikat haji yang mabrūr, yang tidak ada balasan baginya (orang yang hajinya adalah haji mabrūr) kecuali surga Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

________________________

Materi Tematik
Ustadz Aris Munandar, S.S, MA

9/28/2015

Kenapa Terjadi Perbedaan

Kenapa Terjadi Perbedaan ??

Dalam kitab Al I’tisham, karya Imam Asy-Syathibi, (II/691), ia menceritakan :

Pada satu hari, Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menyendiri. Dia bertanya dalam hatinya, mengapa umat ini saling berselisih, sementara Nabi mereka satu?! Kiblat mereka satu?! Kitab suci mereka satu?! Kemudian ia memanggil salah satu sahabat yang paling berilmu, Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu.

Umar bertanya kepadanya,
“Mengapakah umat ini saling berselisih, sementara Nabi mereka satu. Kiblat mereka juga satu dan Kitab suci mereka juga satu?”

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan kepada kita. Kita membacanya dan mengetahui maksudnya. Lalu datanglah sejumlah kaum yang membaca Al-Qur’an, namun mereka tidak mengerti maksudnya. Maka setiap kaum punya pendapat masing-masing. Jika demikian realitanya, maka wajarlah mereka saling berselisih. Dan jika telah saling berselisih, mereka akan saling menumpahkan darah.”

Mendengar jawaban itu Umar ra tertegun, memuji, dan mendoakannya.

***

Semua kelompok, aliran, sekte, dsb, bahkan semua orang yang mengaku dirinya Islam, pasti juga mengaku mengikuti Qur'an dan Sunnah.. Tak akan ada yang mengatakan : " Kami tidak ikut Qur'an dan Sunnah.." Gak ada, dan gak akan pernah ada.. Bahkan yang nyata2 sesat sekalipun juga mengaku Qur'an dan Sunnah..

Lantas.. Kalo memang semua mengikuti Qur'an dan Sunnah :
Kenapa terjadi perbedaan ??
Kenapa ada perbedaan akidah ??
Kenapa bisa terjadi beda amalan ??
Dan kenapa terjadi penyimpangan ??
Bahkan tak jarang sampai berpecah belah ??

Jawabnya hanya satu :
Karena berbeda CARA MEMAHAMI agama ini..

Boleh jadi semua orang memang benar-benar dan sama-sama mengikuti dan berpegang dengan Al-Quran dan Hadist..

Namun masalahnya :
Dengan PEMAHAMAN siapa kita MEMAHAMI Al-Quran dan Sunnah ?? Ikut siapakah kita dalam memahami agama ini ??

Ada yang memahami Al-Qur'an dan Sunnah menurut apa kata ustadznya, kyainya, habibnya, gurunya, alirannya, madzhabnya, imamnya, dst.. Pokoknya : "Apa kata ustadz saya pasti benar.."

Ada juga yang memahami agama berdasar hati dan perasaan.. Pokoknya : Yang ia anggap dan ia rasa baik maka itulah yang benar..

Bahkan ada yang berusaha (baca : maksa) memahami Al-Qur'an dan Sunnah dengan akalnya sendiri.. Dengan mengandalkan (misalnya) nahwu, sorof, balaghah, mantiq, dst... Akhirnya merekapun berusaha mengeja-eja sendiri, mengkaji, memahami, dst.. Pokoknya : Yang ia anggap benar menurut apa yang ia baca dan ia teliti sendiri maka itulah kebenaran..

So, kalo semua itu tidak jelas kebenarannya, trus yang jelas seperti apa ?? Bagaimana seharusnya kita memahami agama ini ???

Sabda Rasulullah Shallallahu 'ala ihi Wa sallam :
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat) kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya (tabiu’t tabi’in)” (Hadits Bukhari & Muslim)

Para Sahabat, tabi’in, tabiu’t tabi’in terbaik ?? Terbaik dalam hal apa ???

Apakah dalam hal Teknologi ?? Tentu saja bukan..

Mereka -Radhiallahu’an hum- adalah generasi terbaik dalam hal :
- Memahami Agama
- Memahami Firman Allah
- Memahami Sabda Rasulullah
- Memahami seluruh perkara-perkara  Ibadah atau Syariat lainnya..

Kemudian sabda Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam :
“(Ikutilah) sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku. Peganglah (kuat-kuat) dengannya, gigitlah sunnahnya itu dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara  yang diadakan-adakan  adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat. (HR. Tirmidzi : hasan shahih)

Jadi.. Pahamilah agama sebagaimana para sahabat memahaminya..

Karena : Merekalah -Radhiallahu’an hum- yang paling paham tentang agama ini..

Pasti ada yang protes :
Memang gak boleh ya memahami agama sesuai pemahaman guru saya, kyai saya, habib saya, madzhab saya, dst ??!

BOLEH, siapa bilang gak boleh ??

TAPI... Harus disesuaikan dulu dengan pemahaman Generasi Terbaik.. Manakala cocok, ya itulah yg kita ambil.. Manakala gak cocok.. Maka kita harus BERBESAR dan BERLAPANG HATI untuk mengikuti pemahaman yang paling jelas dan terang, yakni pemahaman Generasi Terbaik..

Tapi peradaban itu kan terus berkembang, bgmn dgn permasalahan masa kini yg tdk dijumpai pd masa generasi terbaik?

Jawab : Carilah ulama kontemporer yg mengikuti pemahaman para sahabat. Masih ada koq baik itu lokal maupun internasional, cari saja..

****

Islam itu mudah..

Dalam ibadah :
Manakala ada contoh dan tuntunan dari Nabi dan para sahabat.. Maka amalkan sesuai tuntunan semampunya..

Manakala tidak ada contoh dan tuntunan dari Nabi dan para sahabat.. Untuk kehati2an maka tinggalkan..

Yang sudah saja, yang jelas2 disunnahkan saja, yang jelas2 ada tuntunan dari Rasul dan para sahabat saja, masih belum bisa diamalkan semuanya... Koq ya malah repot2 memahami agama dengan caranya sendiri2, bahkan sampai bikin amalan dan keyakinan yang baru ??

Daripada kita kena sia2 seperti hadits arbain an-nawawi no.5, "Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak." Atau dalam lafal lain "Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak." (HR.Bukhari:2697 & Muslim:1718)

*****

Repost & edit from: Group WA Iqra Sunnah.

Wallahu'alam. Kebenaran hanya milik Allah. Jika ada yang salah maka itu dari kami.

9/02/2015

Tazkiyatun Nufus dengan Akhlak Mulia

Belakangan ini kita sering mendengar berita-berita tentang banyaknya akhlak-akhlak para pemuda yang rusak. Di lingkungan pelajar dan mahasiswa misalnya, sering kita dengar tawuran antar pelajar, siswa-siswi yang tidak berakhlak, dan pergaulan bebas. Oleh karena itu siapapun yang mendambakan keselamatan dan keberuntungan dalam hidupnya, tidak ada jalan lain baginya kecuali dengan tazkiyatun nufus ( Mensucikan Hati dan Jiwa ). Menyucikan diri dari kefasikan, keburukan amalnya dan akhlak yang buruk.

Bagaimanakah cara dan metode menyucikan diri yang benar? Adakah metode-metode yang khusus yang lazim dilakukan oleh orang yang akan memperbaiki akhlaknya? Apakah pengalaman pribadi, perasaan seseorang dan bisikan hati bisa dijadikan landasan amal dalam hal ini?

Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan oleh manusia tanpa petujuk dari Rasul mereka. Tidak terkecuali dalam masalah perbaikan akhlak, hendaknya kita kembalikan kepada petunjuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, sebagai satu-satunya manusia yang ahli di bidang tersebut.

Ketahuilah wahai saudaraku seiman, sesungguhnya memperbaiki akhlak dengan tujuan membentuk akhlak yang mulia merupakan faktor utama bagi kekuatan dan keagungan umat.

Sesungguhnya nilai suatu umat itu terdapat pada akhlaknya. Jika akhlak itu hilang maka hilang pula nilai umat tersebut. Karena itulah perbaikan akhlak memiliki peranan yang sangat penting, karena dia sangat berpengaruh bagi baik atau buruknya suatu umat.

Di samping itu perbaikan akhlak menjadi landasan tegaknya perintah-perintah Allâh Ta'ala di dalam jiwa manusia. Jika jiwa manusia dibiasakan dengan akhlak mulia dan lurus, niscaya jiwa tersebut akan senang dan bangga dalam mengagungkan syiar-syiar Allâh Ta'ala dan berjalan diatas manhaj-Nya.

Selengkapnya :

http://www.seindahsunnah.com/bagaimana-cara-mensucikan-hati-kita-dari-maksiat/