sore itu..
seperti biasa berangkat menuju kampus melewati rute sehari2,
saya menyeberangi jembatan layang yang masih tampak gagah & bersih,
disekitar tampak beberapa tuna wisma (pengemis) dan pengamen2 jalanan dengan dandanan ala punk, masih anak2, tidak seperti para pengemis disana yang mayoritas sudah tua alias jompo, ya mungkin saja mereka satu besan, maksut saya semacam satu keluarga besar, hanya saja bedanya yang tua karena tidak punya keahlian lebih lainnya akhirnya menjadi pengemis sedangkan yang muda yang masih segar bertenaga melakukan cara yang lebih kreatif menghasilkan uang dengan mengamen. namun mengapa style mereka harus punk? apakah identik dengan ideologi 'anti kemapanan' ? padahal beli aksesori2nya saja sudah butuh biaya lebih, kenapa gak yang simple2 saja style pengamen khas jaman dulu kaos, celana pendek, sendal jepit. sederhana & efisien. akh! tapi membahas ideologi & lifestyle punk ini dipostingan lainnya saja.
~ kembali ke cerita.
tak lama setelah saya naik angkutan umum, menyusul masuk sepasang kakek nenek duduk didepan & samping saya, dengan pakaian sangat sederhana seperti pedagang pasar, dengan wajah & penampilan mereka yang membuat kita simpati melihatnya.
baru sekitar 1 km perjalanan, si kakek tiba2 memecah keheningan saat itu, mengeluarkan kata2 dalam bahasa daerah kepada si nenek, si nenek pun lebih2 lagi memecah keheningannnya dengan mengekspresikan emosinya kepada si kakek, mereka tampak berdebat, sepertinya si kakek merasa tempat yang mereka tuju kelewatan disebelah sana sedangkan si nenek merasa sebaliknya, seorang pemuda lagi yang duduk dipojok belakang bertanya, "ibu mau kemana?" sepasang kekasih tua itu masih saja berdebat dan menghiraukan pertanyaan, lalu saya coba bantu menanyakan, "ibu mau kemana?" dan mereka masih berdebat bahkan semakin seru, hingga sopir nya pun sadar dengan keberisikan yang tercipta, satu orang penumpang juga ikut menanyakan arah tujuan mereka, dan kami kembali berulang kali menanyakan hal yang sama kepada nenek itu hingga akhirnya beliau menjawab, "ke pasar induk taman royal."
sontak kami berseru kepada supir untuk menyetopkan kendaraannya, "ibu benar yang dikatakan bapak, arahnya kesana, sudah kelewatan." lalu mereka turun sambil mulut masih berkomat kamit, tampak si nenek masih kesal dengan si kakek. mereka nyelonong begitu saja, tak membayar, supir angkutan umum tampak ling lung antara mo nagih karena memang itu haknya dengan etika membiarkan saja mereka pergi sebagai sikap toleransi saling menolong. namun pemuda yang duduk dipojok yang pertama kali meresponse kekacauan yang sempat terjadi, dengan sigap mengatakan kesupir didepan "sudah bang, biarkan saya saja yang bayarin" ..............
saya diam2 malu duduk disana,.. sekaligus salut akan sikap responsive-nya, pemuda yang dari penampilan berbeda sekali dengan saya yang tampak berkecukupan dan berpendidikan, namun dalam hal ini dikalahkan olehnya.
dia yang tampak pas2an dengan uang 3000 rupiah saja sangat berarti, namun merelakannya begitu saja diberikan kepada yang lebih membutuhkan. sungguh dalam hal keikhlasan & tolong menolong saya masih harus banyak belajar dari mereka2 yang hilir mudik dijalan. para penghuni jalanan. para pejuang hidup.
nice post.
BalasHapuspengamen jaman sekarang..ya emang gitu deh stylenya. ribet ngeliatnya. masih untung kalo dia ga keluarin kata-kata kasar ke kita misalnya ga dikasih -_-
thanks cha.
BalasHapuskalo yang ngeluarin kata2 kasar itu yang alay yang masih anak anak2 biasanya ikut2an petantang petenteng, padahal pentolannya yang tua malah sopan & dewasa. gw ada juga cerita ttg mereka nantilah gw post lagi.
iya, alay abis. hahaha.
BalasHapusoke, ditunggu postingannya :D
ok akan gw tulis nanti, eh tapi komentar lo kok gak nyambung ya sama cerita gw ini? padahal inti yang ingin gw sampaikan si pemuda baik hati didalam angkutan umum, bukan pengamen jalanan yang berperan hanya sebagai figura.
BalasHapus