Di antara adab-adab bertanya yang harus diperhatikan oleh para tholabatul 'ilmi adalah sebagai berikut:
1. Tujuan bertanya untuk mencari kebenaran dan ingin beramal, bukan untuk mencari-cari keringanan maupun tujuan-tujuan jelek yang lain. (Al-Ushul min 'Ilmil Ushul - Syaikh Al-'Utsaimin)
Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan para Ulama, atau ingin bersilat lidah dengan orang-orang bodoh, atau ingin menarik perhatian manusia maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka jahannam.” (HR. Ibnu Majah dan dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albani)
Maka sudah semestinya seorang tholibul 'ilmi meluruskan niatnya agar ikhlas karena Allah sehingga ilmu yang dipelajarinya barokah.
2. Tidak bertanya kecuali kepada orang yang berilmu atau menurut dugaannya yang kuat mampu untuk menjawab. Allah berfirman:
"Maka bertanyalah kalian kepada ahlul 'ilmi apabila kalian tidak mengetahui." (Al-Anbiya': 7)
Yakni ahlul ilmi yang dikenal baik manhajnya dan lurus aqidahnya.
3. Bertanya dengan penuh penghormatan dan meyakini keahlian pihak yang ditanya. Bertanya bukan untuk menguji yang ditanya. Ini adab yang sangat jelek yang harus dijauhi oleh seorang tholibul 'ilmi.
Al-Imam An-Nawawi berkata, “Hendaklah seorang murid memperhatikan gurunya dengan penuh penghormatan. Dia meyakini keahlian gurunya itu dibandingkan yang lain. Adab seperti itu akan membawa dirinya mengambil faidah yang banyak dari sang guru, dan hal itu akan lebih membekas dalam hati dari pesan-pesan yang didengarnya." (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab)
4. Sampaikanlah pertanyaan dengan baik dan benar, sebab hukum terhadap sesuatu adalah cabang dari gambaran permasalahannya. Adakalanya seseorang mendapat jawaban yang sifatnya kondisional, namun diberlakukan secara mutlak di setiap situasi dan kondisi. Inilah sesungguhnya yang menjadi sebab fitnah dan kesimpangsiuran.
5. Hindari penyebutan nama ketika menanggapi jawaban dari sang guru, karena perbuatan semacam itu dapat mengadu domba keduabelah pihak. Seperti ucapan, "Sedangkan Syaikh Fulan berkata begini dan begitu!", "Kalau kata Ustadz Fulan begini dan begitu!"
Para Ulama mengajarkan hendaknya menggunakan ungkapan yang lebih umum seperti, "Wahai Syaikh bagaimana menurut engkau jika ada yang berpendapat begini?"
6. Sabar dan husnudzdzhon (baik sangka) bila pertanyaan melalui pesan singkat belum kunjung dijawab. Boleh jadi yang ditanya sedang ada kesibukan, sakit, melayani tamu, sedang safar, ataupun 'udzur-'udzur yang lain. Yahya bin Abi Katsir berkata kepada anaknya, "Sungguh ilmu itu tidak akan diperoleh dengan badan yang santai."
7. Tidak memaksa seorang guru untuk memberi jawaban secara detail dan dilengkapi dalil. Syaikh Al-Albani berkata, “Terkadang seorang 'alim belum memungkinkan baginya mendatangkan dalil atas sebuah pertanyaan. Khususnya apabila dalilnya itu berkenaan dengan kesimpulan hukum yang tidak dinashkan secara gamblang dalam Al-Qur’an was Sunnah. Dalam hal ini tidak pantas bagi penanya untuk terlalu mendalam bertanya apa dalilnya. Menyebutkan dalil memang wajib jika kondisinya menuntut demikian. Akan tetapi tidak wajib baginya setiap kali ditanya harus menjawab Allah berfirman dan Rosulullah bersabda. Terlebih dalam permasalahan fiqh yang luas dan masih diperselisihkan."
(Majalah Al-Asholah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar