Pengalaman PPh pasal 26 ini saya dapatkan ketika mengaudit area equity (share capital) di sebuah perusahaan yang memiliki induk diluar negeri.
Jadi pada sebuah tahun berjalan, perusahaan membagikan dividen kepada para pemegang sahamnya, nah kebetulan pemegang sahamnya disini ada yang berdomisili di luar negeri dan ada juga yang berdomisili di dalam negeri. Untuk yang didalam negeri tentu saja merupakan subjek PPh ps 23 dengan tarif 15 %. (sesuai UU No 36 tahun 2008 dan PMK No.244/PMK.03/2008).
Nah untuk yang pemegang saham diluar negeri ini merupakan subjek PPh ps 26 dengan tarif normal 20% dari jumlah bruto.
Pada waktu saya mereview, perusahaan yang membagikan dividen ini memotong pajak sebesar 10% (witholding tax) kepada pemilik sahamnya yang berasal dari luar negeri itu. lho? kenapa bukan 20%??
Ya! dalam kasus ini kita juga perlu memperhatikan tax treaty nya, jika ada tax treaty, maka tarif pajaknya refer ke treaty tersebut. Sebagai catatan: Tax treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat
dalam rangka meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha
penghindaran pajak.
Untuk mengetahui tarif tax treaty masing-masing negara dapat kita lihat di http://www.infopajak.com/treatyrate.htm . Jadi dalam kasus saya ini tax treaty untuk negara pemilik sahamnya adalah 10%, oleh karena itu perusahaan memotongnya sebesar tarif treaty tersebut.
Sekian share ilmu dan pengalaman saya untuk masalah tarif pajak ini. Sampai jumpa di sharing berikutnya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa menyeru kepada petunjuk dan kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang mengikuti atau mengerjakannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. (HR.Muslim 4831, Kitab Ilmu, Bab Barangsiapa membuat contoh baik)
5/04/2012
5/02/2012
Backflush Costing (Raw Material in Process)
Metode pencatatan biaya untuk COGS / Inventory ini saya dapatkan saat mengaudit di sebuah perusahaan manufaktur, seperti kita ketahui bahwa di era teknologi saat ini dimana mesin-mesin pabrik mampu memproduksi dengan cepatnya tanpa mampu diikuti dengan pencatatan akuntansi yang memadai.
Sebagai contoh ketika akuntansi baru mencatat proses pembelian bahan baku, namun disaat yang bersamaan barang baku tersebut sudah selesai diproduksi bahkan dijual ke pasar. Untuk itulah digunakan pendekatan berupa penyingkatan proses yang semula (umumnya) dimulai dari:
1. "RM (Raw Material) - WIP (Work In Process) - FG (Finished Goods)"
menjadi
2. "RIP (Raw Material in Process) - (Finished Goods)"
Ilustrasi diatas sangat masuk diakal dan tentunya menjadi solusi dari permasalahan yang sedang dibahas, namun penyederhanaan dan deviasi dari sistem biaya tradisional ke modern berarti bahwa penetapan biaya "mungkin" tidak selalu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP). Kelemahan lain dari sistem ini adalah tidak adanya jejak audit berurutan.
Ilustrasi Jurnal Entry:
1. Bahan baku yang diterima dari pemasok, dicatat di debet akun RIP ( Raw and in Process )
Dr. RIP (Inventory)
Cr. AP
2. Penggunaan tenaga kerja langsung, dicatat di debet akun Harga Pokok Penjualan
Dr. Salaries Expense (COGS portion)
Cr. AP
3. Komponen biaya bahan baku atas produk selesai di backflush dari RIP
Dr. FG (Inventory)
Cr. RIP (Inventory)
4. Komponen biaya bahan baku atas produk terjual di backflush dari Barang Jadi
Dr. COGS
Cr. FG (Inventory)
Dr. Sales
Cr. COGS
Oleh karenanya metode backflush costing ini sangat tepat digunakan dalam kondisi JIT (Just in time), yaitu suatu filosofi tepat waktu yang dirancang untuk mendapatkan kualitas, menekan biaya, dan mencapai waktu penyerahan seefisien mungkin dengan menghapus seluruh jenis pemborosan yang terdapat dalam proses produksi sehingga perusahaan mampu menyerahkan produknya (baik barang maupun jasa) sesuai kehendak / permintaan konsumen. Sistem ini dirintis oleh Toyota Motor Corporation dan dikenal juga dengan Sistem Produksi Toyota, yang kemudian dikenal juga dengan istilah Sistem Produksi Ramping (Lean Production System) dan sistem kanban.
Secara umum itulah konsep dari backflush costing berdasarkan teori dan praktek yang saya alami, saya belum memiliki kapasitas untuk membahasnya lebih mendalam sekarang. Mungkin dilain kesempatan.
Sebagai contoh ketika akuntansi baru mencatat proses pembelian bahan baku, namun disaat yang bersamaan barang baku tersebut sudah selesai diproduksi bahkan dijual ke pasar. Untuk itulah digunakan pendekatan berupa penyingkatan proses yang semula (umumnya) dimulai dari:
1. "RM (Raw Material) - WIP (Work In Process) - FG (Finished Goods)"
menjadi
2. "RIP (Raw Material in Process) - (Finished Goods)"
Ilustrasi diatas sangat masuk diakal dan tentunya menjadi solusi dari permasalahan yang sedang dibahas, namun penyederhanaan dan deviasi dari sistem biaya tradisional ke modern berarti bahwa penetapan biaya "mungkin" tidak selalu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP). Kelemahan lain dari sistem ini adalah tidak adanya jejak audit berurutan.
Ilustrasi Jurnal Entry:
1. Bahan baku yang diterima dari pemasok, dicatat di debet akun RIP ( Raw and in Process )
Dr. RIP (Inventory)
Cr. AP
2. Penggunaan tenaga kerja langsung, dicatat di debet akun Harga Pokok Penjualan
Dr. Salaries Expense (COGS portion)
Cr. AP
3. Komponen biaya bahan baku atas produk selesai di backflush dari RIP
Dr. FG (Inventory)
Cr. RIP (Inventory)
4. Komponen biaya bahan baku atas produk terjual di backflush dari Barang Jadi
Dr. COGS
Cr. FG (Inventory)
Dr. Sales
Cr. COGS
FYI, untuk menghitung COGS bisa dengan rumus:
DM + DL + FOH + beg WIP - end WIP + Beg FG - end F.
Oleh karenanya metode backflush costing ini sangat tepat digunakan dalam kondisi JIT (Just in time), yaitu suatu filosofi tepat waktu yang dirancang untuk mendapatkan kualitas, menekan biaya, dan mencapai waktu penyerahan seefisien mungkin dengan menghapus seluruh jenis pemborosan yang terdapat dalam proses produksi sehingga perusahaan mampu menyerahkan produknya (baik barang maupun jasa) sesuai kehendak / permintaan konsumen. Sistem ini dirintis oleh Toyota Motor Corporation dan dikenal juga dengan Sistem Produksi Toyota, yang kemudian dikenal juga dengan istilah Sistem Produksi Ramping (Lean Production System) dan sistem kanban.
Secara umum itulah konsep dari backflush costing berdasarkan teori dan praktek yang saya alami, saya belum memiliki kapasitas untuk membahasnya lebih mendalam sekarang. Mungkin dilain kesempatan.
jakarta people must read!!!
sumber :
(http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/27/saya-takut-hidup-di-jakarta/)
Langganan:
Postingan (Atom)